Opini: Pilkades dan Tsunami Politik

Abdul Wahab Dai

(Tenaga Pendamping Profesinal/TPP Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan)

ISU "pergantian kabinet" atau pemecatan sepihak perangkat desa dengan modus desakan oleh kepala desa terpilih atau oleh tim sukses kepala desa terpilih agar satu atau lebih perangkat desa mengajukan pengunduran diri adalah sebuah preseden buruk.

Momok "tsunami politik" pascapilkades yang menghantui para perangkat desa seharusnya tidak boleh terjadi bila kepala desa terpilih memahami regulasi yang ada bahwa kepala desa tidak dapat sewenang-wenang memecat sekdes, kepala seksi, kepala urusan, atau kepala dusun.

Kecuali bila kepala desa ingin menegakkan aturan misalnya mendapatkan kepala dusun de jure yang tidak melaksanakan tugas dan justru tupoksinya dilaksanakan oleh kepala dusun de facto. 

Di beberapa tempat misalnya ada kepala dusun oleh akibat perubahan regulasi yang mensyaratkan pendidikan minimal SLTA sederajat, terpaksa menyetor ijazah anaknya atau cucunya untuk memenuhi regulasi. Maka jadilah anak atau cucunya sebagai kepala dusun de jure dan dirinyalah yang melaksanakan tugas sebagai kepala dusun secara de facto. Walau banyak yang menganggapnya ini sebagai kearifan lokal sebab yang dibutuhkan adalah ketokohan seseorang di Dusun, hanya saja tak berijazah SLTA/sederajat.

Tetiba kepala desa terpilih yang taat aturan ingin menegakkan aturan dianggap "memecat" kepala dusunnya dengan meminta penjaringan kepala dusun berdasar pada kepala dusun de jure yang tidak melaksanakan tugas. Kasus ini berbeda dengan, misalnya, kepala dusun didesak mengundurkan diri sebagai efek pilkades akibat "like and dislike".

Kasus-kasus gugatan perangkat desa di lembaga peradilan seyogyanya tidak terjadi lagi. Perangkat desa juga sebaiknya tetap menjunjung netralitas selama pilkades.

Kita kerap mendengar perangkat desa dibuat ketar-ketir oleh ancaman pemecatan bila petahana kalah dalam Pilkades. 

Paling krusial bila seluruh perangkat desa diminta mundur. Padahal dalam realita terkadang ada Sekdes memerankan tugas "one man show" di Desa di mana perangkat desa lain tidak melaksanakan tupoksinya sehingga tupoksinya diambil alih oleh Sekdes.

Jadi lah Sekdes bekerja sendiri dan merajai administrasi di Kantor Desa, padahal kasi dan kaur sudah punya tugas yang jelas.

Maka ketika Sekdes ikut terpapar tsunami politik, pencairan dana transfer dari APBN berupa Dana Desa atau anggaran Alokasi Dana Desa dari APBD Kabupaten dapat saja terhambat. Keuangan desa pun kocar-kacir. Kita tahu bahwa administrasi LPJ dan permohonan pencairan dana di Desa sangat kompleks. Sekdes baru tidak serta-merta jago menjalankan tupoksinya.

Terkadang ada pula calon kepala desa atau tim suksesnya yang menyebar isu bahwa bila petahana tumbang, semua perangkat desa akan diganti.

Hal ini akan membuat kekisruhan di Desa dengan dampak yang luar biasa bila misalnya perangkat desa menempuh jalur hukum.

Memang, tidak ada pendidikan formal yang pernah kita temukan untuk kaderisasi calon kepala desa. Semua warga desa dan luar desa memiliki hak mencalonkan diri sebagai calon kepala desa apa pun latar belakangnya, bahkan bila tidak paham pemerintahan desa sekali pun!

Gengsi sebagai kepala desa memang memesona!

Foto: Atas perkenan Muhammad Nasir

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Opini: Pilkades dan Tsunami Politik"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel