Guru Bahasa Asing dan Menjenamakan Diri sebagai Jurnalis Warga

Sebuah buku paket pelajaran Bahasa Prancis tingkat SMA/SMK/MA. (Sumber Foto: Arsip Penulis)

Penulis Abdul Wahab Dai, Pengajar Bahasa Prancis, Humas AGBA-PGRI

SEBAGAI pengajar bahasa asing (non-Inggris) apakah sebagai dosen, sebagai guru atau tentor bahasa Jepang, Prancis, Arab, Jerman, Korea, dan Mandarin, harus lah selalu ada pembeda dan demarkasi dengan pengajar lain bahwa kita bisa berbahasa asing.

Pembeda itu misalnya ditandai dengan takarir-takarir dan pembaruan status di media sosial kita yang menggunakan bahasa Prancis misalnya (kebetulan Penulis adalah pengajar bahasa Prancis sebagai guru privat dan guru di pesantren). 

Toh mereka yang tidak memahami bahasa ini bisa mengetahui makna takarir kita dengan menekan lihat terjemahan di Facebook misalnya.

Idealisme seorang frankofil atau pecinta bahasa Prancis adalah harus senantiasa mengajak orang lain, termasuk kalangan pesantren agar bahasa ini dikembangkan di madrasah-madrasah dan pondok-pondok pesantren kita dengan argumentasi dan pandangan kita sendiri yang kita sebarluaskan dengan tulisan.

Kita harus mengaktualisasikan diri sebagai diri yang bermanfaat sebagai pengajar bahasa Prancis dengan mempromosikan bahasa Prancis di pondok-pondok pesantren.

Menulis tentang bahasa Prancis dan pesantren adalah bagian dari aktualisasi diri kita, penjenamaan diri kita dan citra diri kita sebagai guru bahasa Prancis (baca: bahasa asing)

Penjenamaan diri adalah padanan Indonesia untuk istilah personal branding. Atau bagaimana kita mencitrakan diri kita di luar diri kita sendiri. 

Ada dua yang dapat dicitrakan yakni diri pribadi kita sebagai guru bahasa asing dan lembaga kita atau institusi tempat kita bekerja dan mengabdi.

Kita ke yang kedua dulu. Sudah jamak dewasa ini lembaga atau institusi menjenamakan diri mereka melalui kanal-kanal media sosial. Misalnya dengan laman ataun akun Facebook, Instagram, Tiktok, Linkldin, dan X. 

Mereka memuat foto, video, dan siniar yang dilengkapi dengan takarir dan narasi berupa teks berita singkat perihal sebuah kegiatan atau informasi.

Misalnya saya sebagai Humas AGBA-PGRI saya kerap menulis tentang kegiatan-kegiatan AGBA dan saya unggah di akun pribadi saya dengan menandai akun Facebook AGBA-PGRI misalnya. Dalam praktiknya semenjak saya menempati posisi sebagai Humas AGBA-PGRI, saya misalnya membuat berita tentang AGBA-PGRI dan mengunggahnya di pranala-pranala berita.

Kalau kita mentik di Google kata kunci AGBA-PGRI akan muncul informasi-informasi tentang AGBA yang saya pernah unggah di mana sebelumnya tidak sebanyak sekarang.

Untuk yang pertama soal pencitraan diri pribadi sebagai guru bahasa asing, saya sudah mempraktikkannya dalam 8 tahun terakhir dengan menulis hal-ihwal yang berkaitan dengan bahasa Prancis sebagai latar belakang saya dan bahasa asing secara umum.

Jadi di akun-akun media sosial saya banyak tulisan telah saya unggah soal bahasa Prancis dan bahasa asing dengan segala problematikanya.

Inilah yang saya maksud penjenamaan diri sebagai guru bahasa asing. Apa yang saya praktikkan ini adalah praktik-praktik jurnalisme warga.

Jurnalis warga adalah jurnalisme partisipatif. Yaitu partisipasi aktif warga negara dalam mengoleksi, melaporkan, menganalisis dan menyebarluaskan berita dan informasi.

Jadi kalau jurnalis, pewarta atau wartawan itu bekerja pada sebuah media arus utama misalnya media cetak, elektronik seperti radio dan TV atau media daring. Mereka adalah pekerja dan dipekerjakan oleh perusahaan media dan mendapat penghasilan dari perusahaan media tempatnya bekerja. Biasanya mereka menulis berita untuk kepentingan publik.

Sedangkan jurnalis warga adalah bentuk khusus dari media warga yang informasinya berasal dari warga itu sendiri. Apa medianya? Medianya adalah dengan membuat sebuah blog atau laman dan jurnalis warga menulis berita atau tulisan untuk kepentingan kelompok sendiri.

Kita sebagai guru bahasa asing juga bisa memberitakan diri kita sendiri sebagai narablog. Narablog adalah orang yang membuat, memiliki dan mengelola blog, membagikan pandangan serta perspektif kepada khalayak untuk tujuan pribadi atau bisnis. 

Bisa juga dengan sebuah laman. dewasa ini sebetulnya hampir semua dari kita sudah mengelola “blog” berupa akun media media sosial. Media sosial populer misalnya Facebook sebetulnya secara realitas adalah blog yang sesungguhnya, sebab kita bisa membuat takarir, menulis keterangan pendek dan tulisan panjang pada sebuah pembaruan status kita disertai gambar dan video.

Kita sebagai pecinta bahasa asing, bahasa Prancis atau frankofil, kita bisa membuat takarir dengan bahasa Prancis atau menulis tentang bahasa ini dengan bahasa Indonesia.

Coba kita lihat di media arus utama! Tidak mungkin setiap hari mereka menayangkan tentang perkembangan pembelajaran bahasa asing ataun bahasa Prancis di halaman-halamannya. Di media cetak pun pada setiap halaman Budaya, kita jarang menemukan tulisan tentang pembelajaran bahasa Prancis.

Nah, di sinilah jurnalime warga berperan. Kita menulis tulisan atau artikel sendiri, kita sunting sendiri atau swasunting dan kita publikasikan sendiri. Kalau ada kegiatan luring, kita tidak perlu mengundang wartawan untuk meliputnya. Kita bisa menulis dan mempublikasikannya sendiri dengan syarat ada kemampuan menulis.

Harus ada kemampuan menggunakan bahasa Indonesia yang bernas dengan merujuk pada kaidah-kaidah terkini bahasa Indonesia.

Kita mengulik dulu posisi bahasa Prancis sebagai salah satu bahasa asing..Pada tahun 2022 data menunjukkan bahasa Prancis digunakan di lima kontinen dengan 274 juta penutur. Selain sebagai bahasa bisnis terpenting ketiga, bahasa ini mengalami kenaikan 7 persen jumlah penutur sejak 2010 dengan 180 juta pengguna internet berbahasa Prancis. Bahasa Prancis menjadi bahasa media internasional kedua.

Dari segi pembelajaran bahasa Prancis, terdapat 900 ribu pengajar bahasa Prancis di seluruh dunia, 125 juta orang yang mempelajari bahasa Prancis dan menjadi bahasa kedua yang paling dipelajari di dunia.

Inilah tugas para pemangku kepentingan termasuk para pengajar bahasa Prancis agar bahasa Prancis bisa eksis di madrasah-madrasah dan pondok-pondok pesantren kita.

Mengapa saya menyebut pesantren dalam tulisan ini? Fakta menunjukkan bahwa pesantren-pesantren yang mengelola madrasah masih resisten terhadap bahasa ini dengan pelbagai alasan: tidak ada bukunya lah, untuk apa bahasa Prancis, bahasa Prancis bukan bahasa religi.

Tugas kita adalah mempromosikan bahasa Prancis atau bahasa asing lainnnya di madrasah dan pondok-pondok pesantren menjadi sebuah mata pelajaran.

Bahasa Molière ini saat ini sulit bersaing dengan mata pelajaran pilihan lain di madrasah-madrasah dan pondok-pondok pesantren di negeri ini rupanya.

Bagaimana pun madsrasah dan pesantren identik dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang telah lama menjadi tren.

Tugas kita sebagai jurnalis warga dan narablog atau pengelola laman adalah menulis hal-ihwal bahasa Prancis atau bahasa asing lainnya dan segala keunggulannya dengan sudut pandang kita masing-masing.

Persoalannya adalah apakah kita punya kemampuan menulis?

Sekarang semua warga pecinta bahasa Prancis/bahasa asing dapat mempromosikan bahasa asing yang dicintainya pada akun-akun media sosial mereka berupa tulisan. Kalau kita membuat artikel atau tulisan tentang pembelajaran bahasa asing, lalu kemudian kita kirim ke media arus utama, belum tentu mereka memuatnya.

Pada blog dan akun media sosial kita, kita bisa membuat tulisan sesuai selera kita dan sesuai sudut pandang kita dan pasti dimuat karena media kita bersifat vak. 

Selamat mencoba!


Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Guru Bahasa Asing dan Menjenamakan Diri sebagai Jurnalis Warga"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel