Opini: Asrama Kedaerahan vs Asrama Keilmuan vs Asrama Tanpa Keterangan


Oleh Abdul Wahab Dai

Gambar dan takarir hanya rekaan

Tinggal di Wajo, Sulawesi Selatan

Dini hari…

“Matikan semua lampu, jangan ada yang bersuara!”…..Prak…suara pintu ditutup dengan keras…suara-suara kaki berlari dari luar terdengar dengan kencang…….


Malam itu malam perdana saya menginap di pulau seberang pada salah satu asrama (maha)pelajar asal salah satu daerah. Salah seorang senior menelepon asrama sebelah asal daerah lain. “Tolong bantu, matikan lampu asrama, kami juga sudah matikan lampu di sini,” pinta senior asrama…Asrama sebelah manut, asrama pelajar dari pulau lain. Rupanya asrama yang bertetangga ini sangat akrab, meski asrama sebelah dikhususkan bagi jender yang berbeda dengan asrama yang saya tempati menginap. Kebetulan asrama yang saya tumpangi adalah asrama daerah khusus para pria.


…..

Paginya, sesosok aparat tak berseragam datang bertamu. “Sepertinya dia tahu situasi di asrama ini,” pikir saya. Jika kudengar aksennya, dia sekampung dengan anak-anak asrama. Dia bergurau akrab dengan para senior asrama. 


Pagi-pagi saya bangun keluar jogging dan mencari  sarapan. Di blok sebelah kudapati sebuah mobil dengan kaca pecah-pecah. Sepertinya telah dirusak. Belakangan saya paham, kedatangan petugas pagi itu ke asrama untuk memastikan peristiwa semalam. Ternyata, perusakan mobil didalangi anak asrama! Kebetulan saja petugas pura-pura tidak tahu jikalau pelakunya adalah pelajar asal sedaerahnya. Rupanya rasa senasib sepenanggungan di rantau masih dijunjung kuat. Ketika saya melintas di ruang tamu asrama, kudengar sang tamu berujar “Saya tahu pelakunya semalam anak asrama sini, tapi saya pura-pura tidak tahu. Saya kenal lewat dialeknya,” kira-kira kalimat yang ditangkap oleh telinga saya.


Secuplik kisah ini adalah benar adanya dan pengalaman nyata penulis ketika melanglang di tanah seberang. …


Asrama adalah salah satu kebutuhan para pelajar dan mahapelajar di rantau. Di salah satu kota berdiri asrama-asrama dengan plakat-plakat provinsi atau kabupaten. Biasanya dibangun pemerintah daerah asal pelajar dan mahapelajar penghuninya.


Seringnya terjadi bentrok berbau kelompok primordial menyebabkan munculnya pemikiran untuk membangun asrama berbasis keilmuan atau kebhinnekaan. Pada asrama kedaerahan, para penghuni berasal dari daerah yang sama. Semangat kesukuan sangat tinggi, apalagi jikalau kelompok  mereka diganggu dari kelompok lain. Terkadang pula asrama pelajar primordial, keyakinan penghuninya homogen. Maka jadilah mereka seolah-olah eksklusif. Asrama menjadi tidak inklusif.


Wacana membangun asrama pelajar inklusif yang merupakan gabungan pelajar jurusan dan program studi yang sama sempat menghangat pasca maraknya berbagai inisiden SARA yang mengoyak keindonesiaan kita. 


Kalau kita menengok plakat Asrama (Nama Daerah) misalnya, itu lumrah. Asrama dihuni oleh pelajar dari daerah yang tertulis di plakat. Sebuah kota dengan beragam pelajar dari seluruh Nusantara dengan plakat-plakat asrama kedaerahan sememangnyalah  ada peluang eksklusivisme. 


Maka muncullah diskursus memunculkan asrama inklusif. Tidak salah jika masing-masing pemerintah daerah membangun asrama pelajar bagi putra daerahnya di rantau, toh ada anggarannya. Diskursus membangun asrama seperti dalam angan-angan pelontar wacana: Asrama Mahasiswa Akuntansi, Asrama Putri Mahasiswi Teknik Industri, Asrama Mahasiswa Pendidikan dan Bahasa dan Sastra Inggeris. Kita tidak pernah melihatnya, bukan?


Dalam angan-angan mereka, ada sebuah asrama berbasis kesamaan minat atas sebuah ilmu, sehingga penghuni asrama menjadi warna-warni: daerah asal yang beragam, kampus yang beragam, reliji yang beragam, sehingga dapat menjadi sebuah ajang perajut inklusivisme, perenda kebhinnekaan. Mereka juga bisa menjadi “lebih sering” berinteraksi dengan mereka yang sama minatnya atas sebuah ilmu. 


Persoalannya adalah, siapa yang akan mebangun asrama seperti ini? Tidak mungkin pemda! Pengusaha kos-kosan biasanya hanya membatasi penerimaan penghuni dengan membedakan jender: “menerima anak kos khusus perempuan” misalnya. Kita juga tidak pernah melihat plakat dengan tulisan “menerima anak kos khusus asal Wajo” misalnya, tidak bakalan pernah! Asrama kedaerahan identik dengan aset pemda. 


Kalau aset pribadi, mana mungkin menerima anak kos dari daerah tertentu saja, bukankah “business as usual”? Wacana “asrama keilmuan” mungkin hanya bisa dibangun oleh pemerintah pusat. Mengumpulkan mahasiswa sejurusan pada sebuah asrama, Asrama Kedokteran misalnya,  bisa menjadi arena menenun keberagaman bangsa kita. Kecuali satu: bedakan antara Arsrama Putri Pendidikan Dokter dan Asrama Putra Pendidikan Dokter.


Pertanyaannya adalah: Apakah ini mampu mengurangi tawuran antarasrama? Bentrokan berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan)? Menurut catatan penulis, ketika menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar, bentrokan antarmahasiswa antarfakultas biasanya hanya terjadi di area kampus. Kita tidak pernah mendengar bentrokan antara Anak Teknik dengan Anak Sospol di luar kampus. “Kefakultasan” hanya terjadi di area kampus. Di luar kampus, tak ada bentrokan antarfakultas. 


Judul plakat asrama sendiri yang diwacanakan hanya memuat nama jurusan, semisal “asrama mahasiswa(i) ekonomi”. Jadi mau dari kampus manapun, bisa bergabung. Maka penghuni asramapun menjadi warna-warni: agama, ras, suku, kebudayaan, kampus dan daerah asal, kecuali jenis kelamin yang harus homogen. Yang merekatkan mereka adalah “kesamaan minat atas sebuah cabang ilmu”.


Pembangunan-pembangunan “asrama kelimuan ini” mungkin bisa melibatkan ormas dan organisasi kemahasiswaaan nasional. Misalnya, “asrama  mahasiswa Hukum” diinisiasi oleh forum/himpunan/persatuan/perhimpunan/asosiasi/konggres (atau dengan nama apapun) mahasiswa Hukum se-Indonesia dan/atau persatuan sarjana hukum nasional atau semacamnya.


Sulit-kah? Okelah jikalau disebut sulit, sekalian saja pemerintah membangun asrama mahasiswa tanpa embel-embel, kecuali dengan embel-embel “putra atau putri” saja. Kita bayangkan sebuah asrama mahasiswa milik pemerintah pusat pada sebuah kota, cukup dengan plakat “Asrama Pelajar Putra” atau “Asrama Mahasiswi Putri” tanpa keterangan di belakangnya: mau dari daerah mana, agama apa, suku apa, ras apa dan program studi apa….semua berterima. Ini akan menjadi wadah pembelajaran keberagaman bangsa kita.


Adakah?


10 Dzulhijjah 1441 H/31 Juli 2020

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Opini: Asrama Kedaerahan vs Asrama Keilmuan vs Asrama Tanpa Keterangan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel