Jangan Ahistoris! Ini Ceritera Lahirnya SMAN 6 Wajo (Eks-SMAN 1 Pitumpanua)
Penulis bukanlah alumnus sekolah ini, akan tetapi punya ceritera perihal lahirnya sekolah yang berkampus di Kampobbaru, Kelurahan Bulete ini. Putri saya tamat di sini, termasuk adik dan beberapa keponakan saya.
Kawan-kawan saya juga banyak yang tamat di sekolah ini. Dalam pandangan penulis, reuni akbar sekolah ini terkadang melupakan embrio sekolah yang pada awal dirintis bernama SMA PGRI Siwa.
Tarikh kelahiran SMAN 6 Wajo (Kelurahan Bulete, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) harus ditarik dari sejak beroperasinya SMA PGRI Siwa, bukannya sejak SMA ini dinegerikan menjadi SMAN Siwa yang kemudian menjadi SMAN 1 Pitumpanua, SMUN I Pitumpanua, dan kini SMAN 6 Wajo.
Reuni-reuni akbar seharusnya adalah juga reuni bagi alumni SMA PGRI Siwa, bukan hanya bagi alumni yang menyelesaikan sekolah ketika sekolah telah berstatus milik negara.
***
Ada beberapa tokoh yang dapat disebut sebagai tokoh di balik kelahiran SMA PGRI Siwa. Tersebutlah H. Ambo Langsang Mappanyompa dan H. Karateng Dg. Siwoja. Mereka adalah dua tokoh sentral berdirinya SMA PGRI Siwa yang kini disebut SMAN 6 Wajo.
Pada tahun 1980-an (sekira 1984-1986) H. Ambo Langsang, Penilik Kebudayaan dan H. Karateng, Penilik Pendidikan Masyarakat kala itu pada Kantor Dikbudcam (Pendidikan dan Kebudayan Kecamatan) Pitumpanua (ketika wilayah Kecamatan Keera masih bergabung) resah dengan banyaknya pelajar putus sekolah di Siwa dan sekitarnya setamat SLTP.
Dr. Syamsu Alam, SE., M.Si., Ak., CA., ACPA., putra H. Ambo Langsang yang kini berkiprah sebagai akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muslim Indonesia (FEB-UMI) Makassar, dalam sebuah wawancara kepada blog ini berceritera kepada penulis.
Syamsu Alam adalah pelajar angkatan pertama SMA PGRI Siwa. Kala itu, salah satu anggota keluarga H. Ambo Langsang (anak kelima dari tujuh bersaudara) setamat dari SMP Negeri Siwa akan melanjutkan sekolah ke SMA. Namun karena keterbatasan ekonomi, karena saudara-saudaranya masih kuliah di Ujungpandang, maka H. Ambo Langsang berpikir untuk membuka sekolah SMA, dengan harapan anaknya bisa sekolah dan masih tetap tinggal di Siwa membantu orang tuanya mengelola kebun.
Di sisi lain, memang belum ada SMA yang bisa menampung putra-putri di Kecamatan Pitumpanua dan sekitarnya kala itu. Tentu saja kalau itu terjadi penolakan dari anak yang bersangkutan, karena tidak diizinkan melanjutkan pendidikan di kota (tahun 1984). Kala itu, jika ada putra-putri Siwa yang ingin melanjutkan studi, mereka harus ke SMA Paria (kini SMAN 2 Wajo), atau ke Sengkang, Belopa, Parepare atau Ujungpandang.
Maka H. Ambo Langsang pun menemui teman sekantornya yaitu H. Karateng. Keduanya pun berembuk untuk mengurus pendirian sebuah SLTA di bawah bendera PGRI. Dimotori oleh H. Ambo Langsang, maka dimulailah pengurusan SMA PGRI Siwa (nama asli institusi ini). Dalam pencarian bentuknya, untuk rencana pendirian SMA PGRI Siwa ini harus tumbuh sebagai afiliasi dari sekolah yang sudah ada, dan berjalannya waktu, maka SMA PGRI Siwa berafiliasi dengan SMA PGRI Amanagappa di Jalan Amanagappa Ujungpandang, sehingga proses administrasi dan surat-menyurat kala itu berinteraksi dengan SMA PGRI Amanagappa.
Tentang kronologi tempat belajar, setelah mendapat izin operasional dari pemerintah, maka dimulailah proses pembelajaran di kolong rumah H. Ambo Langsang, dengan meminjam meja dan bangku (berukuran panjang) dari SMP Negeri Siwa yang sudah rusak, kemudian direparasi selayaknya. Beberapa bulan kemudian pindah ke teras masjid tua (eks-Masjid Raya Pitumpanua) di mana kini pada lokasi ini berdiri Gedung Serba Guna. Tentu mobilisasi properti pun menjadi pekerjaan anak SMA PGRI Siwa kala itu.
Di Masjid tua inilah akhirnya dilanjutkan proses pembelajaran dan terus berjalan apa adanya, namun dirasa sudah tidak memadai, maka proses pembelajaran pindah dan mendapat tumpangan belajar di Aula Dikbudcam Pitumpanua atau Kantor P & K (di lokasi ini kini berdiri Kantor Camat Pitumpanua).
Tantangan pertama yang mereka hadapi bagaimana mengajak pelajar putus sekolah untuk melanjutkan pendidikan. Kerap mereka (para guru) menemukan siswa Kelas I (angkatan pertama) harus mencari nafkah terlebih dahulu baru ke sekolah.
Ada yang jadi sopir pete-pete dulu saat hari pasar Rabu pagi. Ada yang harus bekerja di bengkel pagi-pagi sebelum ke sekolah. Mendiang H. Ambo Langsang harus pontang-panting mengajak pelajar agar ke sekolah tiap hari. Dia kerap menyambangi Pasar Siwa menemui siswanya agar jika pekerjaan selesai segera bergegas ke sekolah.
Tantangan kedua adalah ketersediaan guru. Tercatat tiga guru perdana di sekolah ini: H. Karateng (yang telah mendahului kita) yang mengajar semua Ilmu Non-Eksakta, H. Ambo Langsang yang mengampu pelajaran llmu Eksakta dan dibantu oleh Mappasessu.
Pada masa proses pembelajaran di Aula Kantor P & K (kala itu), di sinilah mulai nampak keseriusan belajar, begitu pula jumlah siswa semakin bertambah. Guru pun sudah mulai bertambah dan mata pelajaran mulai tertata.
Mahasiswa dari Kota Ujungpandang yang sedang ber-KKN pun turut mengambil bahagian mengajar mata pelajaran dan mengajar keterampilan lainnya, termasuk mengaja siswa bermain drama (terbentuk grup teater, yang sempat pentas kemana-mana kala itu). H. Karateng memanggil beberapa mahasiswa dari Ujungpandang untuk membantu mengajar jika mereka sedang pulang kampung.
Demikianlah, tokoh-tokoh ini bahu-membahu merintis sekolah ini. Jumlah pelajar yang kian banyak membuat aula Kantor P & K Pitumpanua tidak layak lagi digunakan dan berpeluang "mengganggu" para pegawainya saat bekerja.
Akhirnya, diputuskan untuk mencari lokasi baru, maka H. Ambo Langsang bersama H. Karateng menyusun proposal untuk pembangunan Gedung SMA. Syarat untuk pembuatan proposal adalah harus ada lokasi permanen sebagai lokasi tempat berdirinya sekolah tersebut. Maka bergegaslah H. Ambo Langsang bersama H. Karateng menemui beberapa masyarakat dari rumah ke rumah. Kebetulan H. Ambo Langsang adalah guru SMP Negeri Siwa sebelum menjadi Penilik Kebudayaan, maka tentu H. Ambo Langsang dikenal luas sebagai guru.
Ada salah seorang masyarakat di Kampobbaru, Bolabakkae yang bersedia mewakafkan sedikit lahannya untuk lokasi berdirinya sekolah, dengan syarat bahwa mereka tetap diizinkan bermukim di sekitar sekolah, dengan alasan senang tinggal bermukim di dekat sekolah. Maka berdirilah satu unit gedung terdiri dari tiga ruangan, berdinding papan dengan lantai tanah yang dipadatkan secara mandiri dan swadaya dibantu masyarakat sekitar.
Lahan dan bangunan swadaya ini kemudian difoto dari berbagai sisi sebagai bahan pengajuan proposal kepada Pemerintah untuk mendapatkan sarana gedung.
Waktu berjalan, proses pembelajaran pun pindah ke lokasi baru, lokasi SMA PGRI Siwa. Proses pembelajaran pun semakin tertata, sambutan pemerintah pun semakin nyata. H. Ambo Langsang berjuang terus untuk menciptakan “countinuous improvement” (kemajuan yang sinambung). Kali ini pengadaan bantuan guru, sebab sekolah sudah punya gedung sendiri yang tadinya gedung berdinding papan.
Syamsu Alam pada akhirnya pindah ke Ujungpandang saat Kelas III ke SMA Biringkanaya (Afiliasi SMA Negeri 7 Sudiang Ujungpandang). Maka Syamsu Alam (putra H. Ambo Langsang) bertugas mengurus segala persuratan dan proses administrasi untuk mendapatkan bantuan guru SMA. Tercatat bantuan guru negeri kala itu yang diberikan oleh Pemerintah adalah yang pertama Drs. Aris Kamma, kemudian disusul dengan Dra. Radiah, yang semuanya ditampung dan tinggal di rumah kediaman keluarga H. Ambo Langsang di Jalan Andi Djaja (sekitar pengkolan Tugu Siliwangi kini).
Proyek bangunan pun sudah direalisasikan oleh Pemerintah, menyusul sarana dan prasarana pembelajaran lainnya. Begitu pula penambahan lokasi juga sudah dibantu oleh Pemerintah, di mana kala itu masih berstatus sebagai SMA PGRI Siwa. Termasuk Guru Diperbantukan (DPK) juga sudah ditambah beberapa guru lagi.
Waktu berjalan, usia manusia pun bertambah dan semakin menua. Keluarga H. Ambo Langsang pun sudah mulai pada dewasa. Anak-anaknya sudah beberapa berpindah lokasi setelah berkeluarga. Sudah ada cucu di beberapa tempat lokasi berbeda. Maka H. Ambo Langsang sudah sering berkunjung ke anak-anaknya dan cucunya. Pada masa tugas sebagai PNS tersisa 5 tahun, putra-putrinya menganjurkan agar H. Ambo Langsang segera pensiun saja dari PNS dan tidak lagi mengurus SMA PGRI Siwa, sehingga lebih dekat dengan anak-anaknya, anak-anaknya tidak ada lagi yang berdomisili di Siwa.
Akhirnya keputusan pun diambil dan SMA PGRI Siwa dipersiapkan untuk dialihkan ke Pemerintah untuk segera dinegerikan.
Sebuah metamorfosis, babak baru pun dimulai. Setelah berjuang untuk mendirikan sekolah, sekarang berjuang untuk penegerian. Di sinilah Syamsu Alam menjadi tokoh utama dalam proses penegerian SMA PGRI Siwa, di mana kala itu Syamsu Alam sudah berdomisili di Makassar.
Maka bertugaslah Syamsu Alam mengurus segala sesuatunya demi terwujudnya SMA Negeri Siwa. Hal pertama setelah masuk usulan SMA Negeri Siwa adalah mencari guru yang akan menjadi kepala sekolah.
Syamsu Alam pun menemui dan mengajak Drs. Muh. Yunus, Guru SMA Negeri 7 Sudiang kala itu, kebetulan Pak Yunus adalah suami dari salah seorang kerabatnya. Muh. Yunus pun menyatakan bersedia ke Siwa menjadi Kepala Sekolah. Tentu waktu itu ada beberapa kandidat dan yang dipandang memenuhi persyaratan adalah guru di SMA Negeri 7 Ujungpandang ini.
Dengan segala daya upaya, maka terwujudlah SMA Negeri Siwa yang dimotori guru dari SMA Negeri 7 tersebut. Pada saat bersamaan H. Ambo Langsang pun memasuki masa purnabakti dari Dikbud dan memilih menjadi pengurus masjid di Sudiang Makassar dan tinggal bersama anaknya. Sesekali pulang kampung untuk menengok kampung halaman dan kebunnya.
Tercatat nama-nama seperti Ashar Karateng, kini pegiat Ornop di Makassar, mahasiswa dari FE-Unhas, putra H. Karateng, dan Wahyuddin Kessa (kini pegiat pemberdayaan masyarakat) dari FE-UMI pernah membantu mengajar di sekolah SMA PGRI Siwa saat liburan.
Kepada blog ini, Asriyadi Djalil mahasiswa dari Fisipol Unhas (kini Wakil Direktur STIMIK Profesional) menuturkan pernah pula pulang ke Siwa melatih pelajar SMA PGRI Siwa dalam sebuah kegiatan.
Selain Symsu Alam, kini Akademisi FEB-UMI Makassar, tercatat Wasiudddin (Kepala Desa Jauhpandang), dan Majid (menantu salah seorang tokoh masyarakat, yakni Pak Syakur) adalah angkatan perdana sekolah ini.
Salah seorang sumber yang tak ingin disebutkan namanya menyebut saat alumni-alumni perdana sekolah ini menorehkan sejarah. Sembilan alumninya lolos di beberapa perguruan tinggi negeri Ujungpandang.
Seiring berjalannya waktu, nama sekolah ini beberapa kali berubah, pernah SMAN 1 Pitumpanua, SMUN 1 Pitumpanua ketika masih dikendalikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Wajo.
Kini setelah berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, sekolah ini disebut SMAN 6 Wajo. Angka enam menunjukkan usia sekolah. Kini di Wajo terdapat lima belas SMA Negeri. Semakin kecil angka pada nama sekolah, semakin tua sekolah itu. Misalnya SMAN 1 Wajo di Sengkang menjadi sekolah tertua pertama diikuti oleh SMAN 2 Wajo di Paria.
Kerap disebut sebagai Smansix sebagai nama beken oleh pelajarnya, sekolah ini kian maju dengan alumninya yang telah bekerja di pelbagai sektor kehidupan.
Kalaulah ada jalan, nama-nama tokoh perintis sekolah ini dapat diabadikan sebagai nama aula, nama gedung, nama laboratorium, nama musala atau nama lapangan di lingkungan sekolah agar kita tidak menjadi ahistoris.
Sumber Foto: Mediasi Smansix
0 Response to "Jangan Ahistoris! Ini Ceritera Lahirnya SMAN 6 Wajo (Eks-SMAN 1 Pitumpanua)"
Post a Comment