KEMBALI KE "WANUWA"
KEMBALI KE "WANUWA" - Para pamong negeri semakin memuliakan desa. Para wong ndéso (the villagers-para penduduk desa) secara demokratis, selain memilih pemimpinnya sendiri lewat Pemilihan Kepala Desa, juga secara demokratis menentukan sendiri apa yang akan mereka bangun (fisik dan non-fisik, sarana dan prasarana serta non-sarpras) melalui rangkaian rembug dan musyawarah untuk merumuskan pemanfaatan Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Pendapatan Asli Desa.
Menyebut "rural zone" di Indonesia dengan 'desa', pada sebuah orde atawa era di negeri ini, pernah ditengarai sebagai sebuah indonesianisasi (pengindonesiaan) seluruh relung kehidupan kebangsaan kita. UU Nomor 5 Tahun 1979 menuntut penyeragaman, salah satunya semua satuan administrasi di bawah kecamatan harus dinamai desa.
Tapi vonis tersebut lebih netral tinimbang tuduhan sebagian pihak yang mengatakan bahwa menyebut 'the rural zone' di Indonesia dengan satu nama saja: desa, adalah sebuah Jawanisasi (penjawaan) massif rural zone di Nusantara.
Tuduhan itu mungkin saja ada dasarnya, bahwa konsep desa itu ada di Tanah Jawa.
Tapi biarlah mereka berdebat! Regulasi terakhir memberi ruang bagi desa-desa di Nusantara untuk menamai satuan lingkungan setempat (pada level desa) sesuai dengan akar sejarah dan kebudayaan mereka.
Gerakan Reformasi pasca-Orde Baru melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu isinya adalah membolehkan satuan administrasi desa diberi nama dengan nama lain sesuai sejarah dan akar kebudayaan mereka.
Maka selain desa, di Pulau Sulawesi, desa-desa di Tana Toraja dan Toraja Utara kini dinamai Lembang (sebuah nama yang erat kaitannya dengan sejarah panjang manusia Toraja), dipersingkat cerita, ada kaitannya dengan manusia pertama yang datang menghuni "negeri-negeri di Barat/di Gunung", yakni manusia berperahu atau manusia yang datang dengan perahu.
Sejarah ini erat pula kaitannya dengan model rumah tradisional Toraja kini. Ini yang pernah saya baca pada beberapa sumber.
Bagaimana pun, penggantian nama dari 'desa' menjadi 'lembang' mungkin secara kasat mata tidak mengubah apa-apa. Mungkin hanya persoalan kop surat dan stempel.
Tetapi ke kembali ke penamaan 'lembang' bagi desa-desa di Tana Toraja dan Toraja Utara, mengandung semangat menghargai masa lalu dan spirit membangun desa semakin terjaga tanpa melabrak hukum nasional, lembang-lembang pun dapat memperlihatkan jatidiri masa lalu dan masa kininya. Ini diperkuat dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 sebagai payung hukum terakhir, meski perubahan itu harus ditetapkan dengan Perda.
Bagaimana dengan Eks-Pitumpanuwa?
Kini, di kawasan utara Wajo, Kecamatan Pitumpanua, akibat pemekaran dan perkembangan zaman, sudah terdapat 23 desa dan 4 kelurahan.
Di Kecamatan Keera, ada 9 desa dan 1 kelurahan. Ini belum disebut desa-desa bekas Akkarungeng Paselloreng sebagai bagian Eks-Pitumpanuwa lainnya.
Beberapa desa/kelurahan di Pitumpanua-Keera-Paselloreng mewarisi nama bekas akkarungeng (monarki) dan wanuwa: Desa Awota (akronim dari Awo dan Tanete), Desa Awo, Desa Keera, Desa Paselloreng, Desa Batu, Desa Lauwa, Kelurahan Bulete).
Kisah yang sampai ke kita bahwa setelah tujuh akkarungeng bubar sebagai muasal dari proper noun (nama diri) Pitumpanua, monarki-monarki kecil tersebut berubah menjadi 'wanuwa'. Tersebutlah beberapa di antaranya Wanuwa Keera, Wanuwa Lauwa dan Wanuwa Bulete sebagai penyesuaian terhadap era pascaproklamasi RI.
Akhirnya kita pernah tiba pada sebuah era 'serba satu dan serba seragam', semua harus disebut desa. Semuanya pun bertransformasi dari Akkarungeng menjadi Wanuwa hingga menjadi Desa. Pada akhir dasawarsa 1970-an, Kecamatan Pitumpanua saat itu, sebagai peralihan dari wanuwa, terdiri dari Desa Batu, Desa Bulete, Desa Lauwa, Desa Keera, Desa Paselloreng, Desa Lalliseng dan Desa Tanete (?).
Kembali ke Nama "Wanuwa" Bukan Latah
Lalu? Sebagai paragraf-paragraf terakhir, penulis hanya ingin berpendapat, tiada salah jika kita ikut-ikutan mengubah nomenklatur desa menjadi "wanuwa". Itu bukan latah!
Selain dimungkinkan dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, pengembalian spirit masa lalu menjadi pikiran utama.
Kita bisa membangun desa-desa di Eks-Pitumpanuwa Raya meski tetap dengan nama desa.
Akan tetapi, kembali menggunakan lema "wanuwa" mungkin saja menjadi pembeda dan melecut semangat kita semakin mencintai tanah/negeri warisan kita.
Jika ini dimanifestasikan, kita akan mendengar nama-nama baru berasa historikal: Wanuwa Awo, Wanuwa Lauwa, Wanuwa Simpellu, Wanuwa Marannu, Pemilihan Kepala Wanuwa, Mobil Layanan Masyarakat Wanuwa Pattirolokka, Kantor Wanuwa, Bursa Inovasi Wanuwa, Peraturan Wanuwa, Musyawarah Wanuwa.
Bagaimana dengan dusun? Kita bisa memakai nomenklatur "Kampong" sebagai SLS (Satuan Lingkungan Setempat) satu level di bawah Wanuwa. Kampong juga mengandung spirit yang sama dengan Wanuwa. Maka Kepala Dusun menjadi Kepala Kampong sebagai pelaksana satuan kewilayahan menurut UU Desa. Di bawah "kampong" (yang setara dusun), nomenklatur RT masih bisa dipakai.
Tetapi: What is on a name? Apalah arti sebuah nama?
*(Pendapat Pribadi, Penulis Abdul Wahab Dai* adalah Pendamping Lokal Desa di Pattirolokka, Lalliseng dan Inrello, Kecamatan Keera, Wajo, Sulawesi Selatan).
Menyebut "rural zone" di Indonesia dengan 'desa', pada sebuah orde atawa era di negeri ini, pernah ditengarai sebagai sebuah indonesianisasi (pengindonesiaan) seluruh relung kehidupan kebangsaan kita. UU Nomor 5 Tahun 1979 menuntut penyeragaman, salah satunya semua satuan administrasi di bawah kecamatan harus dinamai desa.
Tapi vonis tersebut lebih netral tinimbang tuduhan sebagian pihak yang mengatakan bahwa menyebut 'the rural zone' di Indonesia dengan satu nama saja: desa, adalah sebuah Jawanisasi (penjawaan) massif rural zone di Nusantara.
Tuduhan itu mungkin saja ada dasarnya, bahwa konsep desa itu ada di Tanah Jawa.
Tapi biarlah mereka berdebat! Regulasi terakhir memberi ruang bagi desa-desa di Nusantara untuk menamai satuan lingkungan setempat (pada level desa) sesuai dengan akar sejarah dan kebudayaan mereka.
Gerakan Reformasi pasca-Orde Baru melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu isinya adalah membolehkan satuan administrasi desa diberi nama dengan nama lain sesuai sejarah dan akar kebudayaan mereka.
Maka selain desa, di Pulau Sulawesi, desa-desa di Tana Toraja dan Toraja Utara kini dinamai Lembang (sebuah nama yang erat kaitannya dengan sejarah panjang manusia Toraja), dipersingkat cerita, ada kaitannya dengan manusia pertama yang datang menghuni "negeri-negeri di Barat/di Gunung", yakni manusia berperahu atau manusia yang datang dengan perahu.
Sejarah ini erat pula kaitannya dengan model rumah tradisional Toraja kini. Ini yang pernah saya baca pada beberapa sumber.
Bagaimana pun, penggantian nama dari 'desa' menjadi 'lembang' mungkin secara kasat mata tidak mengubah apa-apa. Mungkin hanya persoalan kop surat dan stempel.
Tetapi ke kembali ke penamaan 'lembang' bagi desa-desa di Tana Toraja dan Toraja Utara, mengandung semangat menghargai masa lalu dan spirit membangun desa semakin terjaga tanpa melabrak hukum nasional, lembang-lembang pun dapat memperlihatkan jatidiri masa lalu dan masa kininya. Ini diperkuat dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 sebagai payung hukum terakhir, meski perubahan itu harus ditetapkan dengan Perda.
Bagaimana dengan Eks-Pitumpanuwa?
Kini, di kawasan utara Wajo, Kecamatan Pitumpanua, akibat pemekaran dan perkembangan zaman, sudah terdapat 23 desa dan 4 kelurahan.
Di Kecamatan Keera, ada 9 desa dan 1 kelurahan. Ini belum disebut desa-desa bekas Akkarungeng Paselloreng sebagai bagian Eks-Pitumpanuwa lainnya.
Beberapa desa/kelurahan di Pitumpanua-Keera-Paselloreng mewarisi nama bekas akkarungeng (monarki) dan wanuwa: Desa Awota (akronim dari Awo dan Tanete), Desa Awo, Desa Keera, Desa Paselloreng, Desa Batu, Desa Lauwa, Kelurahan Bulete).
Kisah yang sampai ke kita bahwa setelah tujuh akkarungeng bubar sebagai muasal dari proper noun (nama diri) Pitumpanua, monarki-monarki kecil tersebut berubah menjadi 'wanuwa'. Tersebutlah beberapa di antaranya Wanuwa Keera, Wanuwa Lauwa dan Wanuwa Bulete sebagai penyesuaian terhadap era pascaproklamasi RI.
Akhirnya kita pernah tiba pada sebuah era 'serba satu dan serba seragam', semua harus disebut desa. Semuanya pun bertransformasi dari Akkarungeng menjadi Wanuwa hingga menjadi Desa. Pada akhir dasawarsa 1970-an, Kecamatan Pitumpanua saat itu, sebagai peralihan dari wanuwa, terdiri dari Desa Batu, Desa Bulete, Desa Lauwa, Desa Keera, Desa Paselloreng, Desa Lalliseng dan Desa Tanete (?).
Kembali ke Nama "Wanuwa" Bukan Latah
Lalu? Sebagai paragraf-paragraf terakhir, penulis hanya ingin berpendapat, tiada salah jika kita ikut-ikutan mengubah nomenklatur desa menjadi "wanuwa". Itu bukan latah!
Selain dimungkinkan dengan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, pengembalian spirit masa lalu menjadi pikiran utama.
Kita bisa membangun desa-desa di Eks-Pitumpanuwa Raya meski tetap dengan nama desa.
Akan tetapi, kembali menggunakan lema "wanuwa" mungkin saja menjadi pembeda dan melecut semangat kita semakin mencintai tanah/negeri warisan kita.
Jika ini dimanifestasikan, kita akan mendengar nama-nama baru berasa historikal: Wanuwa Awo, Wanuwa Lauwa, Wanuwa Simpellu, Wanuwa Marannu, Pemilihan Kepala Wanuwa, Mobil Layanan Masyarakat Wanuwa Pattirolokka, Kantor Wanuwa, Bursa Inovasi Wanuwa, Peraturan Wanuwa, Musyawarah Wanuwa.
Bagaimana dengan dusun? Kita bisa memakai nomenklatur "Kampong" sebagai SLS (Satuan Lingkungan Setempat) satu level di bawah Wanuwa. Kampong juga mengandung spirit yang sama dengan Wanuwa. Maka Kepala Dusun menjadi Kepala Kampong sebagai pelaksana satuan kewilayahan menurut UU Desa. Di bawah "kampong" (yang setara dusun), nomenklatur RT masih bisa dipakai.
Tetapi: What is on a name? Apalah arti sebuah nama?
*(Pendapat Pribadi, Penulis Abdul Wahab Dai* adalah Pendamping Lokal Desa di Pattirolokka, Lalliseng dan Inrello, Kecamatan Keera, Wajo, Sulawesi Selatan).
0 Response to "KEMBALI KE "WANUWA""
Post a Comment