ELEGI TELUK BONE

ELEGI TELUK BONE - Terbersit kabar: Kolaka Utara akan segera punya lapangan terbang! "Jeddéérrr!," kabar ini menghujam bumi tempatku berpijak: Wajo (bagian utara).

ELEGI TELUK BONE

Apa pasal? Iri? Tidak! Mari kita tinjau jauh hari ke belakang.

Era 80'an adalah puncak kejayaan pelayaran rakyat lintas Teluk Bone bagian utara.

Pelabuhan-pelabuhan rakyat di pesisir Kolaka di timur (Lapai, Kamisi, Lambai, Ranteanging, Malamala, Batunong, Lasusua, Loholoho) sungguh ramai dengan penumpang dan barang dengan kapal berbahan kayu!

Di pesisir barat (Wajo), kapal hanya merapat di pelabuhan rakyat Sungai Siwa. Romantisme kejayaan pelayaran lintas teluk pernah saya ulas pada sebuah tulisan dengan judul "Booming Kakao dan Pelabuhan Transito".

Saat itu, warga Pitumpanua (sebelum pemekaran) menikmati berkah rezeki dan fulus sebagai bandar pelabuhan rakyat. Sebutan 'daerah dollar' banyak membahana dan disematkan akibat kiriman kakao dari seberang (Tenggara) dan kiriman logistik dari Selatan ke bandar-bandar pesisir Tenggara.

Teluk menjadi ramai! Teluk Bone menjadi jembatan penghubung antarsemenanjung Selatan-Tenggara.

Saksi bisu kejayaan pelayaran rakyat lintas teluk kini teronggok lesu pada apa yang kini disebut pelabuhan lama (sebuah pelabuhan permanen di bantaran sungai Siwa tidak jauh dari muara).
Pelabuhan lama permanen masih ada, meski tak berfungsi lagi. Yang hilang jejaknya adalah pelabuhan rakyat dekat Jembatan Siwa. Kini eks-pelabuhan rakyat dijejali bangunan ruko. Sisa-sisa pelabuhan berbahan kayu tak tampak lagi.
Bukti lain kejayaan pelayaran lintas Teluk Bone adalah beberapa tragedi laut kesohor: Tragedi Gemini, Tragedi Belibis, Tragedi Gaya Baru. Ini belum termasuk Tragedi Marina (era kapal penyeberangan berbahan fiberglass).

Sebuah kisah heroik ABK menyelamatkan kapal dari celaka ketika sebuah kapal mengangkut seekor kuda.

Tetiba saja, kuda meloncat (jatuh?) ke laut. Tuannya dibantu beberapa orang berusaha menyelamatkan kuda dengan menggapai tali yang dikaitkan ke ke badan (leher?) kuda.
Demi menyelamatkan kuda, maka berkumpullah sekian banyak penumpang ke geladak kapal. Kapal pun miring dan ada peluang tenggelam akibat berat yang tidak seimbang.

Terjadi perdebatan dan ketegangan, ABK ingin tali kuda diputus saja dan membiarkan kuda mati tenggelam. Pemilik kuda menjadi murka. Perkelahian hampir terjadi (konon hampir saja terjadi pertumpahan darah). ABK berkelebat memutus tali kuda, kuda mati tenggelam, kapal selamat! Ini hanya bumbu tulisan ini, kisah nyata sebuah insiden laut di Teluk, bukti bahwa Teluk Bone pernah gemilang dengan pelayaran antarsemenanjung.

Nah, pikiran pokok ulasan ini akan bermula di sini. Munculnya kapal fiberglass dan ferry ditengarai sebagai salah satu faktor mundurnya perputaran uang (ekonomi) di Pitumpanua.
Orang-orang Tenggara dan barang kini hanya sekedar numpang lewat saja. Rembesan uang pelintas berkurang, meski masih ada.

Muncul kabar pula Pemprov akan membangun jalan baru Luwu-Sidrap, mungkin akan ada efek yang kita tanggung di Pitumpanua. Efek berkurangnya rembesan uang pelintas.

Terakhir, Lapangan Terbang Kolaka Utara akan dibangun! Terbayang warga Kolut tidak akan pernah lagi melintasi daratan Pitumpanua!
Satu contoh betapa pentingnya mereka (orang Kolut) melintasi wilayah kita adalah pada kasus pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Kolut kini.

Tahun lalu mereka masih melintas di Pitumpanua setelah menyeberangi laut menuju Em/debarkasi UPG. Bahkan, sebuah rumah makan menjadi langganan mereka di Siwa. Rembesan fulus pelintas masih kita nikmati.
Dan ketika lapangan terbang Kolut sudah beroperasi? Mereka takkan menginjak Pitumpanua lagi? Rembesan fulus berkurang? Pelayaran lintas laut Teluk Bone akan berkurang? Sebuah elegi..........

*Penulis Abdul Wahab Dai
(Pendapat Pribadi)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "ELEGI TELUK BONE"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel