KALI PERTAMA PITUMPANUA DIPIMPIN CAMAT PEREMPUAN: SEBUAH SEJARAH

KALI PERTAMA PITUMPANUA DIPIMPIN CAMAT PEREMPUAN: SEBUAH SEJARAH - Semalam, 6 Januari 2020, sejarah tercipta: untuk pertama kalinya, kecamatan paling utara Wajo, Pitumpanua, dipimpin oleh seorang camat perempuan!

KALI PERTAMA PITUMPANUA DIPIMPIN CAMAT PEREMPUAN: SEBUAH SEJARAH - ABDUL WAHAB DAI

Nisrinah, sebuah nama yang tidak asing bagi khalayak Pitumpanua, dilantik oleh Bupati Wajo Amran Mahmud sebagai camat baru. Pada era pemerintahan Bupati Andi Asmidin, Ibu Nis pernah menjadi "first lady" (Ibu Camat) di Kecamatan Pitumpanua. Kala itu, suaminya, almarhum Andi Safri Modding memerintah Pitumpanua sebagai Camat.

Tidak salahlah pada sebuat status media sosial, "Inié Camat Pitumpanua, kembali bersemi melanjutkan perjuangan Almarhum Andi Safri Modding," tulis status itu.

Bagaimanapun, beragam tafsir politik membuncah. Tapi tulisan ini hanya akan fokus pada tinta emas yang baru saja tercipta. Nisrinah adalah perempuan pertama dalam sejarah moderen Pitumpanua yang menjadi pemimpin.
Tulisan ini tidak akan membahas perdebatan religi perihal pemimpin perempuan. Selain penulis bukan ahlinya, toh kita sudah terbiasa dengan pemimpin perempuan dan berterima di alam politik dan demokrasi nasional kita.
Penulis hanya ingin mencatat dengan baik bahwa ini adalah sejarah bagi kita di Pitumpanuwa Raya.

Dalam catatan penulis, sejak menginjakkan kaki di Pitumpanua pada 1979, penulis belum pernah melihat Pitumpanua dipimpin camat perempuan. Setelah bertanya kiri-kanan kepada para senior, mereka juga tidak menemukan camat perempuan sejak Kecamatan Pitumpanua terbentuk sebagai peralihan dari tujuh akkarungeng (monarki) dan wanuwa era pascaproklamasi.

Sebuah kisah tinular yang sampai ke penulis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, kisah itu mengatakan bahwa, Keera, sebuah akkarungeng (monarki) pembentuk awal Pitumpanuwa (tujuh negeri atau tujuh wanuwa) pernah dipimpin oleh seorang "arung" perempuan. Tersebutlah nama Bessé' Masiang, Arukkééra yang tidak dapat ditelusuri tarikh pemerintahannya. Sekali lagi ini hanya cerita yang masih perlu dibuktikan secara ilmiah dan bertanggungjawab.

Kisah itu menuturkan, sekelompok orang dari Kerajaan Luu' tiba di sebuah kampung di sebelah barat Lapangan Ballere, Kecamatan Keera kini. Setelah menemukan tempat yang layak untuk bermukim. Mereka membentuk "akkarungeng".

Keluar sedikit dari judul, mereka memanjat pohon dan melihat asap serta melihat burung dengan bunyi (teriakan): kéaa'.....kéaaa'. Menurut kisah itu, inilah asal mula penamaan Keera.. (bunyi kéaa'-kéaa' dari burung sejenis elang) yang mereka dengar.

Orang yang datang dari Luu' inilah yang menikah dengan orang setempat dan melahirkan Besse Masiang, Arukkééra selanjutnya.

Jadi, telah ada preseden kepemimpinan perempuan di Pitumpanuwa. Negeri Keera (pembentuk awal Pitumpanua) pernah dipimpin oleh seorang perempuan! Karena kisah ini pulalah, Kecamatan Keera kini sering disebut Bumi Masiang. Pada hutan yang mereka temukan, mereka membabatnya manjadi tanah lapang sehingga menjadi terang (masiang).

Camat Alumni STPDN/APDN/IPDN
Kita sebagai warga Kecamatan Pitumpanua patut berbangga hati, Camat Nisrinah adalah "the right (wo)man on the right place". Nis adalah alumni sekolah kedinasan STPDN/APDN/IPDN.

Beliau menempuh pendidikan vokasi yang dipersiapkan menjadi birokrat pemerintah. Jadi memang sudah ahlinya!

Terkait jender, saya kira kita tidak perlu resisten. Toh sejarah silam Pitumpanuwa "membuktikan" bahwa salah satu negerinya (Keera) pernah dipimpin oleh seorang perempuan secara biologis.

Pada sejarah moderen Pitumpanua kinilah sejarah itu berulang. Camat Nisrinah adalah seorang yang berakar di Pitumpanuwa Raya. Sering disebut-sebut sebagai berakar di Buriko.

Almarhum suaminya yang pernah populer dengan tagline Asmo (Andi Safri Modding) juga adalah putra Pitumpanuwa Raya. Keera adalah akar utamanya, di mana Keera adalah bagian tak terpisahkan dari Eks-Pitumpanuwa.

Penulis ingin mengajak kepada para pembaca dan khalayak Pitumpanua agar kita tidak mempersoalkan lagi jender. Perdebatan jender di negeri ini sudah selesai dan usang.

Bahwa kaum perempuan itu "the second sex" sudah bukan jamannya lagi menurut teori. Paham yang menganggap perempuan lemah adalah "mindset" atau pola pikir kebudayaan.

Sebagai orang yang sering mengampu mata pelajaran Sosiologi beberapa tahun silam pada sebuah pesantren, penulis sering mengutip teori dan memberi tahu para santri agar berhenti membandingkan kedua jenis kelamin ini.

Teori mengatakan, lelaki dan perempuan itu setara, saya mencoba mengingat buku paket Sosiologi yang saya ampu (ajarkan). Bahwa hanya ada satu yang membedakan antara lelaki dan perempuan, yakni persoalan "sembilan bulan" yang takkan pernah dilewati oleh lelaki.

Jadi apa yang dapat dilakukan lelaki, dapat pula dilakulan oleh perempuan. Mindset budayalah yang membuatnya "berbeda" dan bahwa perempuan itu di bawa bayang-bayang lelaki. Jadi perdebatan perihal "camat perempuan" kita akhiri.

Ibu Nisrinah tak dapat dilepaskan dari Asmo, putra Pitumpanua Raya (Wajo Utara) yang pernah maju mencoba merengkuh singgasana Kosong Satu Wajo, meski harus takluk pada petahana saat itu Andi Burhanuddin Unru.
Asmo, almarhum suami Ibu Nisrinah adalah "personifikasi" Pitumpanuwa Raya. Seorang yang pernah mencoba membangun Pitumpanuwa Raya, kampung halamannya, dengan cara menjadi top eksekutif sebagai Bupati Wajo, meski gagal. Pada level lain, perjuangan dan pengabdian beliau terhadap Kecamatan Pitumpanua pernah dilakoninya, tetapi tentu berbeda bila Asmo menjadi Bupati Wajo.
Sayang, Asmo saat itu takluk bersama-sama dengan Pak Amran (saat itu dengan tagline AYM Amanah).

Kini, Tuhan memberikan jalan lain bagi kelanjutan pengabdian dan perjuangan kemajuan Pitumpanua lewat tangan istrinya, Ibu Nisrinah, yang baru saja dilantik sebagai Camat Pitumpanua.

Mutasi dan Tafsir Politik yang Mengikutinya
Panggung depan selalu menarasikan ,"Mutasi dan pergeseran pos jabatan itu lumrah dalam birokrasi. Salah satunya adalah demi penyegaran dan menambah pengalaman pelakonnya di tempat lain," narasi klasik ini selalu muncul.

Yang sulit ditafsirkan adalah panggung belakang dari mutasi kali ini. Bagaimanapun, segala tingkah laku pejabat publik dan politisi selalu dimaknai politis di luar diri mereka.

Bupati Amran mungkin memiliki pertimbangan tersendiri memilih Ibu Nisrinah dari tiga calon yang tersisa dalam seleksi camat.

Panggung belakang ini adalah ranah khalayak Pitumpanua. Peristiwa politik penunjukan Ibu Nisrinah sebagai Camat Pitumpanua, kita hanya dapat menerka dan merabanya dari luar. Ini mungkin bagian dari strategi Bupati Wajo dalam memperlancar pemerintahannya atau mungkin ada makna dan siasat lain.

Terimakasih Pak Andi Mamu, Selamat Ibu Nis
Dari semua itu, keputusan telah diambil. Marilah kita mengucapkan selamat kepada Ibu Nisrinah yang kembali ke asal, kembali ke "rumah"-nya, rumah besar "Pitumpanuwa Raya".

Dan kita tidak lupa mengucapkan terimakasih tiada terhingga kepada eks-Camat Pitumpanua yang digantikannya, Andi Mamu. Terimakasih Fung Andi Mamu telah membangun dan memimpin Pitumpanua dengan segala dinamikanya. Semoga amal dan kerja di Pitumpanua bernilai ibadah! Sekali lagi: Terimakasih!

Penulis: Abdul Wahab Dai

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "KALI PERTAMA PITUMPANUA DIPIMPIN CAMAT PEREMPUAN: SEBUAH SEJARAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel