OPINI: Modus-Modus Pilkada Petahana dan Non-Petahana

Abdul Wahab Dai

OPINI: Modus-Modus Pilkada Petahana dan Non-Petahana
Oleh Abdul Wahab Dai

Realitas membuktikan bahwa, lembaga pengontrol pemilihan menjadi semacam lembaga “ompong” dengan ketidakmampuan meneropong dan mengelola segala pelanggaran pilkada, baik yang terselubung, maupun terang-terangan terjadi di depan mata para pengontrol lapangannya.

Sudah menjadi rahasia umum, pelanggaran favorit seperti pembagian gula pasir atau sarung, berlalu begitu saja (dan mereka mengetahuinya!), dengan berlindung kepada prosedur yang harus ditempuh dengan menunggu laporan masyarakat. Lengkaplah sudah, warga enggan melapor ke pengontrol pemiihan karena tidak mau repot dipanggil sebagai saksi yang mengganggu urusan keduniawian mereka.

Banyak kasus pelanggaran yang terjadi, seperti kita bisa lihat di bawah ini:

Buka Puasa Bersama, Silaturahmi/Halal Bi Halal dan Kondangan

Acara Buka Puasa Bersama sering menjadi acara sosialisasi dan kampanye. Pembagian ta’jil sering disertai kalender dan barang-barang suapan lainnya untuk ditukar dengan suara. Bahkan uang transport bisa dibagikan pada acara ini bersamaan dengan pembagian ta’jil/hidangan berbuka.

Begitu pula pada Acara Silaturahmi/Halal bi Halal Pasca Lebaran, uang suapan penukar suara berupa uang transport bisa dibagikan. Oleh-oleh dari kondangan (pesta pengantin) patut diwaspadai pada acara yang diselenggarakan oleh calon, baik petahana, maupun non-petahana.

Peluncuran Buku pada Masa Tenang

Para calon, baik cakada maupun cawakada, ada yang memanfaatkan masa tenang, saat mana semestinya tidak boleh ada iklan kampanye. Namun mereka sangat jeli. Mereka yang mampu menulis buku atau “memesan” buku riwayat hidup, baik tanpa otorisasi maupun dengan otorisasi, dibuatlah acara peluncuran buku dan bedah buku karangan mereka atau orang lain pada masa tenang, bahkan pada hari minus 1 (harmin 1). Nah, acara ini diiklankan di media massa. Yang diiklankan adalah acara peluncuran bukunya, namun diramu sedemikian rupa sehingga foto wajah calon sangat menonjol. Peraturan penyelenggara pemilihan tak bisa menjangkau “kampanye terselubung” ini, karena yang diiklankan bukan paslon dan tak ada ajakan untuk memilih.

Namun nama dan foto yang ditampilkan lebih menonjol lainnya, membuat iklan tersebut nyerempet-nyerempet kampanye.  Pangontrol pemilihan tak mampu berbuat banyak. Belum lagi jika para peserta yang hadir menerima pembagian buku lengkap dengan uang transport-nya!

Pembagian Sembako atau Benda Lainnya

Pembagian sembako pada masa kampanye dan masa tenang oleh timses sudah jamak. Melaporkan pembagian yang “terang-terangan ini” ini ke pengontrol pemilihan akan menjadi bumerang bagi pelapornya. Pemilih yang tidak setuju dengan hal ini urung melaporkannya ke pangontrol untuk menghidari repotnya dipanggil sebagai saksi. Kondisi ini dimanfaatkan para timses paslon untuk tetap membagikan sembako atau benda lainnya. Biasanya sembako disertai gambar paslon atau sembako mendahului gambar paslon.

Kalender dan Jadwal Buka Puasa

Secara detail, modus sosialisasi dengan kalender dapat dijelaskan sebagai berikut. Tiga tahun sebelum pencoblosan, para bakal calon dan calon mensosialisasikan dirinya dengan pembagian kalender. Kelebihan kalender dinding yang terpasang selama setahun menjadi favorit para bakal calon. Bahkan pada masa kampanye resmi pun, para calon masih tetap membagikan kalender. Penulis pernah menemukan sebuah kalender calon dengan ukuran jumbo, memuat kalender Masehi selama dua tahun berturut-turut.

Membagikan selebaran Jadwal Berbuka Puasa dengan embel-embel gambar bakal calon/paslon atau calon paslon, baik pra-kampanye maupun pada masa kampanye sangat sering dilakukan. Politisasi bulan puasa pada masa kampanye kerap berlalu begitu saja tanpa dihiraukan oleh pengontrol pemilihan.

Ucapan “Selamat Hari Raya Idulfitri” dipasang di mesjid-mesjid di seantero dapil, baik oleh paslon, maupun oleh seorang calon, even pada masa tenang!

Saksi Siluman di TPS pada Hari Pencoblosan

Politik uang adalah salah satu modus yang sudah terang benderang sering dilakukan oleh para calon. Bagi-bagi uang sudah jamak didengar dan dilihat. Salah satu cara mereka menghaluskan politik uang adalah dengan cara menunjuk dan memperbanyak saksi luar TPS. Aturannya, hanya satu saksi per paslon per TPS. Inilah yang sering disebut saksi dalam dan hanya saksi dalam inilah yang bertandatangan di form-form TPS dan diakui oleh penyelenggara. Nama resminya adalah saksi.  Akan tetapi para paslon mengelabui pengontrol dengan membagi-bagi uang kepada beberapa orang dengan menamai mereka sebagai saksi luar TPS atau saksi cadangan, bahkan secara ekstrim dinamai sebagai saksi siluman. Untuk menyiasati hukum, mereka diminta mengaku sebagai saksi luar jika ditanya petugas perihal uang yang diterima, disuruh datang ke TPS sepanjang hari pencoblosan, menulis dan melaporkan hasil perhitungan suara melalui pesan pendek (sms) atau cara digital lainnya ke pusat data paslon. Mereka tidak sadar, sebenarnya mereka terkena politik uang. Karena uang yang diberikan, dihaluskan dengan menamainya sebagai honor saksi luar. Ini adalah soft-money politics.

Bisa dibayangkan, kandidat dengan dana besar, akan memperbanyak saksi siluman dan dapat mendulang suara.

Pembagian Uang Transpor dalam Pelatihan Saksi

Berkedok pelatihan saksi TPS atau saksi dalam, biasanya timses paslon membagikan uang transport kepada para saksi luar/saksi siluman/saksi cadangan. Warga yang hadir pada majelis itu semua disebut sebagai saksi luar, padahal yang terjadi adalah pembagian uang untuk ditukar dengan suara. Tentu mereka yang menerima uang transport (baca: uang suap) ditugaskan hadir diluar TPS untuk memantau-menulis-melaporkan hasil perhitungan suara ke sms center hitung cepat timses. Para saksi ini diberi formulir sebagai saksi luar/saksi cadangan dan formulir isian jumlah perolehan suara untuk disetor ke koordinator saksi luar tingkat desa dan kecamatan serta kabupaten. Meskipun sudah ada laporan per sms.

Saksi luar yang “dilatih” pada “pelatihan saksi” tentu orang yang berbeda dengan saksi luar yang dicari oleh timses lain. Jadi jumlah saksi luar semakin banyak, dengan demikian jumlah suara yang didulang bisa semakin banyak. Ironinya, “pelatihan saksi” luar ini sering berlangsung pada masa tenang, atau bahkan sehari sebelum pencoblosan!

Pejabat Teras Merapat ke Petahana?

Sudah jamak ditemukan, para pejabat teras pemerintahan dipastikan merapat dan mengkampanyekan petahana. Ini karena mereka dalam posisi bawahan patahana. Penulis menemukan, bahkan pernah menyaksikan beberapa pejabat dinas sebuah kabupaten turut serta membawa mobil pribadinya ke acara kampanye petahana. Disamping karena “ketakutan” mereka kepada “the big boss” yang memiliki peluang lebih besar menang menurut mereka, juga karena “rasa ewuh pekewuh” terhadap atasan. Pada salah satu kabupaten di Indonesia Timur, penulis menyaksikan para pejabat teras dengan uang pribadi menyediakan logistik petahana (atas pemintaan petahana) berupa baju kaos tipis dan baju kaos layak/tebal dan berkerah serta kemeja tebal, lengkap dengan  simbol dan tagline petahana.

Bahkan penulis pernah melihat sebuah sms dari seorang tim sukses petahana pada salah satu pilkada di Sulawesi. Dia dikirimi pesan oleh ketua tim pemenangan tingkat kabupaten yang berbunyi, “Tenang, biarkan birokrasi bekerja dan mengkampanyekan kita!,”. Maksud dari sms ini adalah mereka telah memerintahkan para kadis, kades, camat dan lurah, serta para kasek untuk mengkampanyekan petahana.

 Turnamen Olahraga Antardesa

Politik uang model ini dilakukan dengan melakukan perjanjian dengan para pemain dari tim-tim yang ikut turnamen. Calon atau paslon menyediakan alat olahraga, kostum tuan rumah dan tim tamu, membelikan piala dan dan hadiah lainnya, dengan catatan keluarga pemain harus mencoblos calon dan mengkampanyekan calon penyandang dana turnamen.

Pembagian Uang Transpor pada Acara Silaturahmi

Bagi calon yang mempunyai mega-dana, untuk menghaluskan politik uang, daripada membagikan uang sogokan suara di lapangan secara langsung yang bisa disemprit oleh pangontrol pemilihan, mereka memilih mengundang para pemilih ke rumah pribadinya, baik di dapil maupun di luar dapil, untuk sebuah acara berkedok “silaturahmi”. Sehabis acara, mereka dibekali uang transport.

Baju Bola

Disekitar TPS kadang-kadang ditemukan baju bola (baju atlet sepakbola) dengan warna tertentu yang diasosiasikan ke partai pengusung paslon lengkap dengan nomor punggung dan nomor dada yang sesuai dengan nomor kandidat. Di atas nomor punggung, terdapat kata atau nama yang dihaluskan dan terasosiasi ke paslon tertentu.

Modus ini harus diwaspadai, apalagi baju bola lagi ngetrend, mereka bisa berkeliaran pada hari H, terutama nomor punggung yang mereka sandang. Padahal, pada hari pencoblosan tak boleh ada atribut paslon lagi.

Permainan Nomor Urut dan Tanggal Pencoblosan

Paslon nomor urut 1 akan bertagline: 1 tujuan, 1 (nama kabupaten/provinsi), 1 pilihan, nomor 1. Misalnya: 1 tujuan, 1………….(nama daerah) , 1 pilihan, nomor 1. Petahana akan bilang : Pak........tetap nomor 1.  Paslon nomor urut 2, apalagi yang mengejar periode kedua: biasanya bertagline: 2 kali lebih baik.  Atau begini: Cara mencoblos di TPS: Nomor 1: Buka surat suara, buka saja! Nomor 2: Coblos! Nomor 3: Tutup dan masukkan ke kotak suara!

Pencoblosan yang dilaksanakan pada tanggal 1, tanggal 2, tanggal 3, tanggal 4 dan tanggal dengan nomor kecil, pasti akan dimanfaatkan. Misalnya bila pencoblosan dilaksanakan pada tangal 3, maka ajakan terselubung dengan kalimat: Ingat! Datang ke TPS tanggal 3! Angka tiga (3) akan ditulis dengan ukuran jumbo pada sebuah baliho yang masih terpampang pada masa tenang hingga harmin 1.

Shalat Lima Waktu

Sebuah baliho besar dengan tulisan “Ingat Shalat 5 Waktu!”, dengan angka lima yang sangat besar dan tulisan Ingat Shalat..waktu yang teramat kecil, dengan latar warna yang berasosiasi ke partai pengusung utama, masih terpampang pada hari H. Ini adalah penghalusan juga. Nampaknya ini bukan baliho politik, tapi sebenarnya baliho ini sedang mengkampanyekan kandidit nomor 5 pada hari pencoblosan!

Petahana dengan Tagline Teruskan/Melanjutkan Pembangunan

Biasanya petahana ber-tagline “Lanjutkan Pembangunan!”, maka ketika sebuah acara religius seperti Peringatan Maulid dan Isra’ Mi’raj yang dihadiri petahana, tema di spanduk acara akan dipermainkan. Misalnya: Dengan Peringatan Maulid Nabi Saw, Marilah Kita Meneladani Beliau untuk Meningkatkan Iman dan Takwa dalam Melanjutkan Pembangunan. Kata Melanjutkan Pembangunan akan ditulis lebih menonjol, dengan latar warna spanduk yang berasosiasi denga warna partai pengusung utama.

Perang Jumat dan Ramadhan

Hari Jumat dimanfaatkan betul oleh para calon. Bahkan tiap selesai shalat Jumat, petahana naik ke mimbar memberikan pengarahan atau sambutan yang diselipi ajakan untuk memilihnya. Setelah shalat Jumat, timses membagikan kalender atau cenderamata (gantungan kunci bergambar calon, peci bertuliskan nama paslon, dll)

Pemilihan Kepala Daerah yang berlangsung setelah Ramadhan, membuat Ramadhan  favorit untuk menjadi lahan kampanye terselubung di tempat ibadah. Bagi petahana, biasanya mereka memanfaatkan betul 30 malam Ramadhan untuk bersosialisasi/ berkampanye tiap malamnya. Tiada malam tanpa menghadiri Shalat Tarawih bersama. Bahkan ada yang bergerilya menghadiri semua shalat berjamaah lima waktu sepanjang Ramadhan.

Bagi-bagi Sembako saat Bencana

Bencana apapun (kebakaran, banjir, puting beliung, longsor, gempa, letusan gunung) akan selalu dimanfaatkan oleh paslon untuk membagikan “bantuan bencana” dengan harapan terselubung ditukar dengan suara. Apalagi bencana yang terjadi pada masa kampanye atau masa tenang.

Mencalonkan Istri atau Anak/Menantu

Kepala Daerah yang tidak bisa mecalonkan diri lagi, memilih mendukung istri, anak atau menantu mereka di Pilkada. Dengan memanfaatkan birokrasi, dukungan langsung dari pejabat bawahan dan PNS akibat tekanan dari atas kerap tak bisa dihindari.

Maju pada Jalur Independen

Beberapa petahana yang “dibenci oleh partai bekas pengusungya, atau tidak disukai oleh partai lain”, bisa melenggang kangkung maju kembali pilkada dengan memanfaatkan jalur independen. Bahkan bisa oppo kembali. Kekuasaan petahana memang sangatlah mujarab. UU pun membolehkan.

Petahana atau Non-Petahana Dikampanyekan oleh Para Kepala Desa

Kepala Desa (atau nama lainnya Lembang, Nagari) akan selalu menjadi favorit untuk dijadikan timses terselubung. Kedekatan kades dengan warganya, menarik para paslon untuk memanfaatkannya, apalagi petahana atau calon dukungan kepala daerah yang masih menjabat. Sudah banyak bukti yang pernah dilihat oleh penulis, apalagi kepala daerah menjadi atasan para kades. Kades (melalui camat) pada masa sosialisasi, memfasilitasi petahana dalam pembagian alat peraga dan pertemuan atau serap aspirasi yang berbau kampanye.

Penulis bahkan pernah menyaksikan terang benderang kehadiran para kepala desa kongkow-kongkow bersama camat di posko paslon petahana pada salah satu Pilkada di Indonesia bagian Timur pada hari minus 3, 2 atau 1 hari H pencoblosan.

Selain petahana, non-petahana pun bisa memanfaatkan para kades yang para kadusnya biasanya setia titah kadesnya.

Berita Advetorial Keberhasilan Petahana

Menggunakan APBD, berita-berita positif tentang petahana dimuat di berita advetorial. Ini sering dilakukan dan menjadi kampanye gratis bagi petahana.

Acara Silaturahmi Petahana yang Berbau Kampanye

Acara silaturahmi kepala daerah yang juga petahana, sering difasilitasi oleh kades dan camat. Kedoknya adalah silaturahmi atau penyerapan aspirasi, padahal petahana mengkampanyekan dirinya. Menghadirkan para anggota kelompok tani di acara panen raya juga kerap dilakukan, kemudian mereka dibagikan topi tebal bergambar simbol petahana sebagai oleh-oleh!

Pembagian Sedekah Gula Pasir oleh Petahana Melalui Kepala Desa dan Lurah

Penulis pernah menyaksikan pembagian gula pasir (dua kali pilkada) pembagian 3 liter gula pasir per KK dengan kedok pembagian sedekah Pak Bupati, beberapa minggu sebelum pencoblosan . Pencoblosan dikoordinir oleh kepala desa. Katanya “Ini sedekahnya Pak Anu.”. Atau: “Ini sedekah dari Pak Bupati”. Ini terjadi di salah satu pulau yang penulis kunjungi.

Ancaman Mutasi dan Rotasi untuk ASN yang tidak Setia kepada Petahana

Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memilih tak berpolitik dan menghindari dukung-mendukung calon selalu menjadi korban tekanan. Petahana sering mengumpulkan para lurah, camat, para kepala sekolah negeri pada semua tingkatan, para kepala UPTD Dinas Pendidikan (dulu disebut Cadis atau Kancam atau apa pun namanya sekarang), para kepala dinas, badan dan kantor.

Apabila mereka ketahuan mendukung calon lain, mereka dianggap tidak setia kepada atasan dan mendapat resiko terancam dimutasi dan dirotasi. Biasanya ancaman dilempar ke tempat nan jauh, diturunkan posisinya atau menempatkan mereka ke tempat “kering” dan tidak populer.

Keadaan ini membuat mereka selalu berhati-hati dalam bertindak, menghindari silaturahmi dengan timses non-petahana, bahkan menghindar dari paslon non-petahana. Mereka beranggapan lebih baik bertemu dengan petahana daripada bukan petahana. Mereka berkelit bahwa mereka hanya menerima atasan mereka sebagai tamu.

Mobil Dinas Mengangkut Logistik Petahana

Penulis kerap menemukan mobil dinas mengangkut baju kaos paslon petahana untuk dibagikan kepada para timses yang kemudian meneruskannya kepada massa peserta kampanye. Timses lawan yang juga warga setempat biasanya segan melaporkan hal ini ke pengontrol pemilihan, karena mereka merasa tak ada guna berurusan dengan hukum, apalagi harus melaporkan pemimpin.

Iklan Program Petahana 

Iklan-iklan pemkab/pemprov petahana, baik di media cetak atau dengan alat peraga yang dibiayai oleh APBD sering berbau kampanye. Iklan biasanya dipasang di sekitar kantor camat atau kantor desa, bahkan kantor bupati.

Acara Organisasi Massa yang Merupakan onderbouw Partai yang Anggotanya para PNS

Penulis pernah menyaksikan para PNS dan Non-PNS berkumpul pada sebuah majelis ormas yang merupakan onderbouw sebuah partai pengusung calon petahana dan dihadiri paslon petahana. Para PNS bisa berkelit dengan alasan “Ini acara ormas, kami anggota ormas!”

Politisasi Bansos

Bansos sudah sering menjadi korban politisasi. Bansos dibagikan dengan “ajakan” mencoblos petahana. Para calon penerima dihubungi dan dikatakan kepada mereka: “Kalau mau menerima Bansos, kami akan urus, yang penting bapak mencoblos calon kami!”

Politisi Proyek 

Petahana sering diuntungkan dengan peresmian proyek-proyek atau kegiatan fisik. Mereka leluasa mengklaim sebagai keberhasilannya atau atas jasa merekalah, proyek itu terlaksana. Bahkan, petahana berani menjanjikan sebuah proyek pengerasan jalan untuk mendulang suara.

Calon Boneka

Calon petahana yang tidak yakin dapat mengamankan suara dan surveinya yang hanya kurang lebih 40 persen, tentu merasa was-was jika lawannya hanya 1 paslon. Keyakinan bahwa lawan (terutama penantang kuat) akan meraup 60 persen membuatnya berharap akan banyak paslon lain yang ikut pilkada, agar suara yang tidak bisa diraih bisa terpecah, sehingga peluang untuk menang semakin besar. Meski tak pernah ada bukti, ujaran-ujaran para calon yang membintangi survei selalu mengharapkan hadirnya calon resmi yang banyak. Maka dibuatlah calon-calon boneka untuk memecah suara lawan.

Istilah calon boneka pernah populer beberapa waktu yang lalu ketika pada sebuah pemilihan terdapat bakal calon tunggal kuat. Akibat survei petahana yang terlalu tinggi  misalnya, tuduhan petahana memelihara calon boneka agar tidak melawan kotak kosong tidak pernah bisa dibuktikan. Tapi boleh saja tesis ini benar!


Lebih Baik Digugat daripada Menggugat

Seoarang calon pernah berujar: “Lebih baik kita yang digugat tinimbang kita yang menggugat”. Ujaran ini bukanlah tanpa alasan. Pengalaman membuktikan, banyak gugatan yang ditolak akibat bukti yang tidak memadai. Makna dari ujaran ini sebenarnya adalah banyak paslon memilih untuk berbuat curang untuk menang, karena mereka yakin, pihak lawan tidak akan mampu membuktikan pelanggarannya di lembaga peradilan.

Jadi, kasus-kasus di atas kemungkinan besar akan terulang lagi pada Pilkada Serentak berikutnya. Sebetulnya masih banyak kasus yang bisa diungkap pada tulisan ini. Tapi cukuplah kasus-kasus tersebut mewakili sekian banyak modus yang dilakoni para calon. Kita hanya berharap bahwa para anggota pengontrol pemilihan memaksimalkan monitoring untuk meminimalisir pelanggaran dan para calon sadar diri untuk meraih singgasana dengan jujur. Selamat memilih!

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "OPINI: Modus-Modus Pilkada Petahana dan Non-Petahana"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel